Laman

Senin, 15 Juli 2013

Fitnah itu Seperti Bulu Ayam Yang Ditebar

Alkisah, seorang pemuda berkonsultasi kepada seorang bijak. Pemuda itu mengaku bersalah karena telah menyebar fitnah terhadap seseorang yang belakangan terbukti tidak melakukan kejelekan seperti yang dituduhkan. Ia menanyakan bagaimana cara memperbaiki kesalahannya dan dihindarkan dari dosa atas perbuatannya.

Sang bijak lalu melangkah ke belakang rumah, mengambil sekeranjang bulu ayam dan membawanya ke hadapan pemuda itu. Lalu berpesan, “Bawalah bulu ayam ini lalu Anda sebarkan sedikit demi sedikit hingga habis ke berbagai penjuru desa.”

Dengan penuh tanda tanya, pemuda itu pergi dan melakukan seperti yang dianjurkan Sang Bijak. Setelah selesai, ia kembali menghadap Sang Bijak untuk melaporkan hasil kerjanya. Sang Bijak tersenyum dan dan memberikan perintah kedua, “Nah sekarang, bawalah keranjang itu dan kumpulkan kembali bulu ayam yang telah Anda sebarkan tadi.”

Si Pemuda mulai kebingungan, ia berjalan dan mencoba mencari bulu ayam yang disebarkan. Namun tak ada satu helai pun yang berhasil ia kumpulkan, karena sudah terbang terbawa angin. Akhirnya ia kembali ke hadapan Sang Bijak tanpa membawa hasil. 

“Begitulah luka akibat fitnah yang telah Anda sebarkan. Apabila telah diketahui banyak orang, maka tidaklah mungkin Anda bisa memperbaiki seperti sebelumnya. Pulanglah, bertobatlah, semoga Tuhan berkenan mengampunimu,” pesan Sang Bijak.

Kisah bijak di atas sangat sesuai dengan situasi yang terjadi sekarang. Pemberitaan media massa kemudian direspon oleh public lewat catatan opini di berbagai media publikasi serta jejaring social, telah menempatkan orang-orang yang menjadi objek berita seperti “penghuni neraka” sebelum dibuktikan benar berdosa.

Contoh, kasus peangkapan 17 orang di rumah artis Raffi Ahmad oleh BNN pada 26 Januari 2013 lalu. Saya mencermati pemberitaan mulai dari media TV, media online, media cetak pada hari itu benar-benar bombastis bertema umum bahwa lagi-lagi artis diciduk BNN karena terlibat pesta Narkoba. 

Kita bisa lihat bagaimana pemberitaan menempatkan “tersangka” jauh dari etika jurnalistik, cenderung fitnah, berlebihan bin lebay. 

Pertama : Penyebutan “Pesta Narkoba”.
Pihak BNN menyampaikan bahwa mereka telah melakukan pengintaian selama dua bulan berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, di rumah itu sering ada pesta. Sedangkan yang kita baca di media massa, yang ditayangkan di televisi dengan fulgar divonis dengan kalimat “Pesta Narkoba”.  Benarkah masyarakat sekitar menyebut “pesta narkoba?”. Secara fakta tidak, karena untuk menyebut “pesta narkoba” harus dilihat benar secara fakta, bukan perkiraan. Menyebut “pesta” pun hanya asumsi bahwa di rumah itu sering banyak orang, terdengar gaduh suara music sehingga diasumsikan “pesta”.  Berarti penggunaan kalimat “pesta narkoba” lebih bersifat interprestasi, bukan fakta. 

Kedua : Semua yang ditangkap adalah “peserta pesta narkoba”.
Dari penyebutan “Pesta Narkoba” membentuk opini bahwa semua yang tertangkap adalah peserta pesta narkoba, tidak bermoral, pendosa, masuk neraka. Di komentar media berita rata-rata membuat tanggapan, “nggak nyangka ya, wajah alim… eh ****” terhadap empat artis yang ditangkap. Model pemberitaan yang cenderung tendensius  membangun opini, sempat disikapi Hendry Yosodiningrat, beliau yang jadi narasumber di acara TVOne sempat menegur  media itu, seharusnya tidak lagi menayangkan wajah-wajah empat artis yang baru saja diumumkan BNN, mereka tidak terbukti pemakai narkoba. Sebab jika masih ditayangkan membentuk opini bahwa mereka itulah pemakai narkoba. “Hargai dong hak orang”, kata beliau.

Ketiga, opini “ngawur” melebar ke mana-mana.
Yang paling disorot selain Raffi Ahmad adalah Politisi Wanda Hamidah. Saya cermati berita di berbagai media, banyak yang mebuat vonis sangat “horror” terhadap Wanda dengan sebutan “mengkhianati rakyat, politisi tidak beretika, menghancurkan PAN… dan lain-lain”. Sangat jelas ini hanya “interprestasi” dan “opini” yang dibangun dalam pemberitaan, karena secara fakta Wanda tidak sedang divonis terbukti pengguna narkoba  oleh BNN. Apakah menghancurkan kredibilitas PAN juga fakta? Tidak… karena belum ada fakta yang terbukti “telah terjadi” bahwa PAN rusak karena Wanda nge-narkoba. 

Coba kita bandingkan dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Pasal 3 disebutkan : “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, TIDAK MENCAMPURKAN FAKTA dan OPINI YANG MENGHAKIMI, SERTA MENERAPKAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH.” 

Sekarang… fakta juga telah “terpampang nyata” opini yang diolah sedemikian rupa, diberi bumbu pemanis buatan, ditiup dengan kipas fitnah… akhirnya TERBANTAH. Mereka yang divonis horror sebelumnya, satu per satu dibebaskan karena tidak terbukti nge-drug.
Memang, mereka dalam posisi salah. Tapi mengapa kita ikut menciptakan kesalahan baru di atas kesalahan mereka? Apakah kita cukup bersih hingga pantas membumbui kesalahan mereka agar makin nampak kotor? 

Lalu bagaimana dengan berita fitnah yang telah ditiupkan ke segala penjuru? Ya… seperti bulu ayam yang disebar si pemuda dalam kisah pembuka di atas. Semoga yang pernah menebar fitnah “nyadar” dan dosanya diampuni Allah SWT. ***

Tulisan ini telah dipublikasi di blog kompasiana : http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/30/fitnah-seperti-bulu-ayam-yang-ditebar-529964.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar