Alkisah, seorang pemuda berkonsultasi kepada
seorang bijak. Pemuda itu mengaku bersalah karena telah menyebar fitnah
terhadap seseorang yang belakangan terbukti tidak melakukan kejelekan
seperti yang dituduhkan. Ia menanyakan bagaimana cara memperbaiki
kesalahannya dan dihindarkan dari dosa atas perbuatannya.
Sang bijak lalu melangkah ke belakang rumah,
mengambil sekeranjang bulu ayam dan membawanya ke hadapan pemuda itu.
Lalu berpesan, “Bawalah bulu ayam ini lalu Anda sebarkan sedikit demi
sedikit hingga habis ke berbagai penjuru desa.”
Dengan penuh tanda tanya, pemuda itu pergi
dan melakukan seperti yang dianjurkan Sang Bijak. Setelah selesai, ia
kembali menghadap Sang Bijak untuk melaporkan hasil kerjanya. Sang Bijak
tersenyum dan dan memberikan perintah kedua, “Nah sekarang, bawalah
keranjang itu dan kumpulkan kembali bulu ayam yang telah Anda sebarkan
tadi.”
Si Pemuda mulai kebingungan, ia berjalan dan
mencoba mencari bulu ayam yang disebarkan. Namun tak ada satu helai pun
yang berhasil ia kumpulkan, karena sudah terbang terbawa angin. Akhirnya
ia kembali ke hadapan Sang Bijak tanpa membawa hasil.
“Begitulah luka akibat fitnah yang telah Anda
sebarkan. Apabila telah diketahui banyak orang, maka tidaklah mungkin
Anda bisa memperbaiki seperti sebelumnya. Pulanglah, bertobatlah, semoga
Tuhan berkenan mengampunimu,” pesan Sang Bijak.
Kisah bijak di atas sangat sesuai dengan
situasi yang terjadi sekarang. Pemberitaan media massa kemudian direspon
oleh public lewat catatan opini di berbagai media publikasi serta
jejaring social, telah menempatkan orang-orang yang menjadi objek berita
seperti “penghuni neraka” sebelum dibuktikan benar berdosa.
Contoh, kasus peangkapan 17 orang di rumah
artis Raffi Ahmad oleh BNN pada 26 Januari 2013 lalu. Saya mencermati
pemberitaan mulai dari media TV, media online, media cetak pada hari itu
benar-benar bombastis bertema umum bahwa lagi-lagi artis diciduk BNN
karena terlibat pesta Narkoba.
Kita bisa lihat bagaimana pemberitaan
menempatkan “tersangka” jauh dari etika jurnalistik, cenderung fitnah,
berlebihan bin lebay.
Pertama : Penyebutan “Pesta Narkoba”.
Pihak BNN menyampaikan bahwa mereka telah
melakukan pengintaian selama dua bulan berdasarkan informasi dari
masyarakat sekitar, di rumah itu sering ada pesta. Sedangkan yang kita
baca di media massa, yang ditayangkan di televisi dengan fulgar divonis
dengan kalimat “Pesta Narkoba”. Benarkah masyarakat sekitar menyebut
“pesta narkoba?”. Secara fakta tidak, karena untuk menyebut “pesta
narkoba” harus dilihat benar secara fakta, bukan perkiraan. Menyebut
“pesta” pun hanya asumsi bahwa di rumah itu sering banyak orang,
terdengar gaduh suara music sehingga diasumsikan “pesta”. Berarti
penggunaan kalimat “pesta narkoba” lebih bersifat interprestasi, bukan
fakta.
Kedua : Semua yang ditangkap adalah “peserta pesta narkoba”.
Dari penyebutan “Pesta Narkoba” membentuk
opini bahwa semua yang tertangkap adalah peserta pesta narkoba, tidak
bermoral, pendosa, masuk neraka. Di komentar media berita rata-rata
membuat tanggapan, “nggak nyangka ya, wajah alim… eh ****” terhadap
empat artis yang ditangkap. Model pemberitaan yang cenderung tendensius
membangun opini, sempat disikapi Hendry Yosodiningrat, beliau yang jadi
narasumber di acara TVOne sempat menegur media itu, seharusnya tidak
lagi menayangkan wajah-wajah empat artis yang baru saja diumumkan BNN,
mereka tidak terbukti pemakai narkoba. Sebab jika masih ditayangkan
membentuk opini bahwa mereka itulah pemakai narkoba. “Hargai dong hak
orang”, kata beliau.
Ketiga, opini “ngawur” melebar ke mana-mana.
Yang paling disorot selain Raffi Ahmad adalah
Politisi Wanda Hamidah. Saya cermati berita di berbagai media, banyak
yang mebuat vonis sangat “horror” terhadap Wanda dengan sebutan
“mengkhianati rakyat, politisi tidak beretika, menghancurkan PAN… dan
lain-lain”. Sangat jelas ini hanya “interprestasi” dan “opini” yang
dibangun dalam pemberitaan, karena secara fakta Wanda tidak sedang
divonis terbukti pengguna narkoba oleh BNN. Apakah menghancurkan
kredibilitas PAN juga fakta? Tidak… karena belum ada fakta yang terbukti
“telah terjadi” bahwa PAN rusak karena Wanda nge-narkoba.
Coba kita bandingkan dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Pasal 3 disebutkan : “Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
TIDAK MENCAMPURKAN FAKTA dan OPINI YANG MENGHAKIMI, SERTA MENERAPKAN
ASAS PRADUGA TAK BERSALAH.”
Sekarang… fakta juga telah “terpampang nyata”
opini yang diolah sedemikian rupa, diberi bumbu pemanis buatan, ditiup
dengan kipas fitnah… akhirnya TERBANTAH. Mereka yang divonis horror
sebelumnya, satu per satu dibebaskan karena tidak terbukti nge-drug.
Memang, mereka dalam posisi salah. Tapi
mengapa kita ikut menciptakan kesalahan baru di atas kesalahan mereka?
Apakah kita cukup bersih hingga pantas membumbui kesalahan mereka agar
makin nampak kotor?
Lalu bagaimana dengan berita fitnah yang
telah ditiupkan ke segala penjuru? Ya… seperti bulu ayam yang disebar si
pemuda dalam kisah pembuka di atas. Semoga yang pernah menebar fitnah
“nyadar” dan dosanya diampuni Allah SWT. ***
Tulisan ini telah dipublikasi di blog kompasiana : http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/30/fitnah-seperti-bulu-ayam-yang-ditebar-529964.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar