Buku "Habis Gelap
Terbitlah Terang" yg selama ini kita kenal sebagai kumpulan surat2 RA.
Kartini, sebenarnya masih misterius alias diragukan keasliannya. Diduga
naskahnya hasil rekayasa J.H Abendanon yg menjabat Menteri Kebudayaan Agama dan
Kerajinan pada Pemerintahan Hindia Belanda. Tujuannya adalah politik utk
mengambil hati bangsa Indonesia. Selain itu, ada misi terselubung karena JH.
Abendanon adalah seorang orientalis. Penting diketahui bahwa sampai saat ini
NASKAH ASLI SURAT2 RA. KARTINI TIDAK DITEMUKAN. Keturunan JH. Abendanon pun
tidak diketahui kebeadaannya.
Hal lain yg PENTING DICERMATI, selama ini kita menganggap buku
yg diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap MENUJU
CAHAYA” lalu digubah oleh Armijn Pane menjadi "Habis Gelap Terbitlah
Terang"... adalah EMANSIPASI WANITA. BENARKAH?
Ada FAKTA YANG TIDAK
DIJELASKAN dalam buku tersebut, yaitu perjalanan spiritual RA Kartini saat
bertemu Kyai Sholeh bin Umar dari Darat atau dikenal Kyai Sholeh Darat. Namun
Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan
kisah ini.
Takdir mempertemukan
Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di
rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. Kemudian
ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan
diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau
sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik
dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat
memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang
pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh
Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang
penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al
Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, Kartini
mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak
bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut
dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan
saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan
ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun,
tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik
bertanya.
“Kyai, selama hidupku
baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama
dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar
Kartini.
Kyai Sholeh tertegun.
Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan
buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini
para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa
Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi
manusia?”
Dialog berhenti sampai
di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah.
Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar
menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Lalu
darimana inspirasi Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam pertemuan itu RA
Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada
gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu
penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.
Kyai Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan
ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan
terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir
pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang
dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu
dan mengatakan:
“Selama ini
Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi
sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”
Inilah dasar dari
“Habis gelap terbitlah terang” yang sesungguhnya, bukan soal feminisme,
emansipasi wanita.
Melalui terjemahan
Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh
nuraninya yaitu: "Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju
cahaya" (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya
kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju
cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “DoorDuisternis Toot
Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis
Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang
diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini
mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya
penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena
Mbah Kyai Sholeh Darat telah wafat.
Berikut surat Kartini
kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, ia menulis;
Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi
sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny
Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Sumber informasi
:
Metro-TV (20 Mei 2008) dan sarkub.com (16/4/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar