Laman

Sabtu, 02 Februari 2013

Kisah Pemulung Gendong Mayat Anaknya Karena Tak Mampu Sewa Mobil Jenazah

BERSIMBAH peluh Supriono mendorong gerobak dari Manggarai ke Stasiun Tebet, Jakarta. Hanya satu tekad, menguburkan anaknya secara layak. Gerobak yang biasanya digunakan untuk memulung itu berubah fungsi jadi kendaraan pengangkut mayat. Murizki Saleh, 6 tahun, anak sulungnya menguntit.

Tiba di stasiun, persoalan bukannya beres. Pemulung kelahiran Solok, Sumatera Barat, 38 tahun yang lalu, itu menggendong jasad Nur Khoirun Nisa, 3 tahun 2 bulan, putrinya. Kepalanya ditutupi kaus putih agar tidak mengundang curiga. Toh, kaki mungil kaku dan pucat yang menyembul dari balik sarung kumal mengundang wasangka. Ketika seorang pedagang teh botol bertanya, dengan polos Supriono menjelaskan bahwa anaknya telah meninggal.

Stasiun Tebet pun geger, Ahad pekan lalu. Bukannya mendapat simpati, bapak beranak dua itu malah digelandang ke kantor polisi. Niat Supriono memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor, dengan menggunakan jasa kereta rel listrik Jabotabek pun terhambat. Kini dia harus berurusan dengan aparat Polsek Tebet.

Kepada petugas, Supriono mengatakan bahwa anaknya meninggal karena muntaber. Toh, polisi tidak percaya begitu saja. Dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk diotopsi. Urusan bertambah panjang.

Kepada petugas di RSCM, Supriono kembali menjelaskan apa yang menimpa putrinya. Nisa empat hari terserang muntaber. "Dia tidak bisa makan," katanya. Semua yang dia makan dimuntahkan lagi. Badannya semakin lemah karena dia tidak bisa makan berhari-hari. Supriono telah membawa Nisa berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. Ia hanya sekali mengobatkan, karena tidak punya duit. Meskipun biayanya cuma Rp 4.000, itu cukup besar bagi Supriono.

"Saya hanya pemulung kardus, gelas, dan botol plastik," katanya pilu. Penghasilannya hanya Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per hari. Bapak yang telah bercerai dengan istrinya, Turiyem, itu mengaku tinggal dalam gerobak di Megaria, Cikini, Jakarta Pusat. Dua anak hasil pernikahannya ikut Supriono. Ia biasa memberi makan nasi bungkus, tiga kali sehari. "Kadang dua kali sehari," ujarnya.

Supriono pasrah dan berharap Nisa sembuh sendiri. Tidak kuasa melawan muntaber, Nisa meninggal. Supriono mendapati anaknya pucat pasi pada Ahad pagi. Dia pun kalut, karena duit tinggal 6.000 perak. Jauh dari cukup untuk membeli kafan, apalagi untuk sewa ambulans. Sementara Nisa "lelap" dalam gerobak.

Setelah berurusan dengan polisi, dari gerobak jasad Nisa berpindah ke atas bangsal di RSCM. Supriono hanya bisa nelangsa mengelus dada. Ketika ngotot minta mayat anaknya, dia mesti menunggu surat permintaan pulang dari rumah sakit. Untuk membunuh waktu, Supriono hanya bisa memandangi tubuh beku anaknya.

Murizki mengajak Nisa bercanda dan bermain. Dia belum mengerti bahwa adiknya telah tiada. Tubuh dingin adiknya sesekali dipeganginya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat yang dinanti Supriono.

Karena tidak memiliki uang untuk sewa ambulans, Supriono lagi-lagi harus berjalan kaki. Sambil menggendong mayat, dia keluar dari RSCM. Murizki mengiringi, meretas jalan panjang hendak ke Bogor. Sejenak kemudian terlintas di benak Supriono seorang kenalan lamanya, Sri Suwarni, 41 tahun, yang tinggal di rumah-rumah kayu di Manggarai Utara. Supriono mengenal Sri pada 2003, saat dia menyewa rumah kontrakan milik Sri selama sebulan.

Dia pun menyetop bajaj untuk mengantar ke rumah Sri. Senja sudah membekap Ibu Kota ketika ayah beranak dua itu tiba. Dia membayar Rp 5.000 dari uang Rp 6.000 miliknya. Sri yang melihat jasad Nisa langsung terduduk lemas. "Kaki saya gemetar dan saya tak kuasa menahan tangis," kata ibu yang sehari-hari berjualan gorengan itu.

Karena sudah malam, jenazah Nisa disemayamkan dulu di rumah Sri. Esoknya, Nisa dimakamkan di Menteng Pulo. Biaya pemakaman ditanggung dari hasil patungan 44 kepala keluarga tetangga Sri. Terkumpul duit Rp 700.000 untuk biaya pemakaman. Sementara Supriono dan Murizki boleh tinggal di salah satu ruang kontrakan milik Sri, seluas 3 meter persegi.

Kini Supriono merasa lebih nyaman dan tenang. Bantuan mengalir padanya. Rencananya, uang yang ada akan digunakan Supriono untuk menyekolahkan Murizki. Juga memulai usaha. "Saya mau berdagang, tapi belum tahu berdagang apa," katanya. Supriono tidak tahu apakah Turiyem, yang sekarang tinggal di Solok, sudah tahu ihwal kematian anaknya. "Kami sudah putus kontak sama sekali," ucapnya.

Wardah Hafidz, Koordinator Urban Poor Consortium, mengatakan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan kongkret menangani kemiskinan dan masalah yang dihadapi rakyat miskin kota. Pemerintah harus meningkatkan anggaran. Sehingga kampung-kampung kumuh bisa dipoles, tanah-tanah mereka diberi sertifikat, juga biaya kesehatan dan pendidikan ditingkatkan. Seperti warga negara lain, kaum fakir juga harus dipenuhi hak dasarnya.

Menurut dia, masyarakat miskin kota selama ini hanya dijadikan komoditas politik. Mereka sering dimobilisasi untuk demonstrasi. Atau bahkan diorder untuk tindak kekerasan dengan bayaran murah, Rp 25.000 hingga Rp 50.000.

Yang memedulikan mereka hanya lembaga sosial. Umumnya lembaga itu memfokuskan pada dua tindakan. "Pertama, memenuhi kebutuhan praktis, sehingga kesejahteraan mereka meningkat," katanya. Misalnya, kegiatan peningkatan pendapatan, tabungan, kesehatan, dan pendidikan.

Kedua, menumbuhkan kesadaran kritis dan politis mereka, seperti memfasilitasi agar mereka kuat berorganisasi dan mudah mengakses informasi. Sehingga bisa berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan publik menyangkut hidup dan kehidupan mereka. "Kedua fokus itu mesti dilakukan secara bersamaan," ujarnya.

Berkait dengan tragedi gendong mayat itu, menurut Wardah, dana berbagai organisasi sosial sebaiknya tidak diberikan secara karitatif karena menimbulkan ketergantungan. "Bantuan untuk Supriono bisa dengan menyewakan ambulans dan menguburkan anaknya," katanya.

Rohmat Haryadi dan Dessy Eresina Pinem
[Nasional, Gatra Nomor 31 Beredar Senin, 13 Juni 2005]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar