Mungkin
sulit bagi seseorang untuk percaya, tapi itulah kenyataannya. Ibu
saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya
sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Semua kebohongan itu saya catat baik-baik agar menjadi bahan renungan semua anak yang lahir ke bumi.
Cerita
ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak
lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan.
Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa
makan ikan asin satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil, saya
sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi
ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk
saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : ”Makanlah
nak ibu tak lapar.” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.
Ketika
saya mulai besar, ibu sering meluangkan waktu untuk pergi memancing
di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu
dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari
memancing, ibu memasak gulai ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu
saya memakan ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa
daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya
makan tadi. Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh
lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan
cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tidak suka makan
ikan.” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA.
Di
awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk
dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada
dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur. Saya
melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa
kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata :
“Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum
dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA.
Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani
saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah
siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu
saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit
berdoa kepada Illahi agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika
lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera
menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol
yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan
kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang
dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan
menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata :
“Minumlah nak, ibu tak haus!!” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.
Setelah
ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan
dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami
sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan
menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang
ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan
keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal
bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu
menolak bantuan itu. Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya
menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah
untuk kami sekeluarga. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan
nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak
perlu laki-laki.” KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA.
Setelah
kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua.
Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi
bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela
pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi
keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar
sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun
begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu
mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada
uang.” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negara. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang. INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.
Beberapa
tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima berita ibu
diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar
kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu
berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda
tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah
menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya
dengan penuh kerinduan.
Ibu
menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa
menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat melihat
dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu,
sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Saya menatap wajah ibu
sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup
pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakit
sekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap
tersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.” INILAH KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN
Setelah
mengucapkan kebohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup
matanya untuk terakhir kali. Anda beruntung karena masih mempunyai ibu
dan ayah. Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu anda jauh dari
mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, ‘Ibu,saya sayang
ibu.’ Tapi tidak saya, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat
sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi
tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu,
sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
(Disarikan dari Buku Kumpulan Kisah Nasihat "Surga di Depan Mata" karya Ustadz Naufal bin Muhammad Al-Aidarus)
(Disarikan dari Buku Kumpulan Kisah Nasihat "Surga di Depan Mata" karya Ustadz Naufal bin Muhammad Al-Aidarus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar