AaL Kamil
Mencermati
pola pengajaran, motivasi belajar dan hubungan materi pelajaran dengan
skill, saya ingin membahas beberapa hal. Diawali dari perbedaan motivasi
belajar yang sangat jelas antara siswa SLTA di sekolah dengan di LPK.
Dengan materi pelajaran praktek keterampilan yang sama, di LPK siswa
belajar dengan penuh antusias, motivasi untuk memahami cukup tinggi.
Sedangkan di sekolah hanya antusias saja. Itupun karena (mungkin)
belajar praktek adalah sisi lain untuk mengurangi kejenuhan. Pada
awalnya saya mengira bahwa motivasi besar siswa yang belajar di LPK
karena perhitungan biaya besar dan masa belajar yang terbatas. Namun
setelah dipelajari lebih lanjut, saya menyimpulkan lain. Di LPK, siswa
sangat menikmati proses belajar karena mereka ”memahami untuk apa mereka
belajar dan manfaat apa materi itu dipelajari”. Hal ini tentu berbeda
dengan pengajaran di sekolah, terutama di tingkat SLTP dan SLTA atau
bahkan di Perguruan Tinggi.
Mungkin kita semua masih ingat, bagaimana semangat belajar kita semasa TK dan SD. Semangat belajar membaca, menulis, berhitung, menghapal dan bernyanyi. Kita bersemangat karena memang setiap hari menemukan pengetahuan baru dan pencapaian baru. Ketika di SLTP dan di SLTA kita mendapatkan pelajaran baru juga, namun di sini makin sadar bahwa tidak semua pelajaran bisa dipahami ”untuk apa dipelajari”, terlebih lagi dipraktekkan. Semakin tidak dipahami ”untuk apa” tersebut, semakin sulit menerima, semakin tidak tertarik mempelajarinya. Tentu hal ini problem yang perlu dicermati. Padahal, siswa tetap berkewajiban ”melahap” sekian mata pelajaran itu. Bagaimana pula hubungan pelajaran tersebut dengan target karier profesional mereka sekian tahun ke depan.
Pada akhirnya terbentuk paradigma tentang belajar, yaitu belajar adalah proses formal untuk melegitimasi pencapaian profesi tertentu. Atau belajar adalah proses untuk mengetahui, terlepas dari ”dapat diterapkan atau tidak”. Belajar seakan menjadi kegiatan tranformasi konsep dari guru ke siswa, kemudian siswa menjadi guru dan mengajarkannya lagi kepada siswa, dari generasi ke generasi. Kecerdasan seseorang seakan dilihat dari kemampuan menghapal pasal dan ayat, susunan kata dalam kalimat yang dikemukakan oleh pakar dibidangnya. Wajar jika kemudian semakin tinggi strata pendidikan seseorang, semakin berpotensi menjadi pengajar, pengamat sejati, penganalisis. Hasil besar dari pengajaran adalah pengajaran itu sendiri. Hanya sedikit yang ”menjadikan sesuatu” atau ”mewujudkan sesuatu”. Malah ada anekdot yang cukup ”melecehkan” bahwa orang Indonesia bisa mendarat di bulan tanpa menggunakan roket. Caranya cukup sederhana, yaitu mendaki tumpukan makalah dan sertifikat seminar.
Sebagai pembanding coba kita lihat lima pilar pendidikan :
1. learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan)
2. learning to learn (belajar untuk tahu cara belajar).
3. learning to do (belajar untuk dapat melakukan pekerjaan)
4. learning to be (belajar agar dapat menjadi orang yang berguna sesuai dengan minat, bakat dan potensi diri).
5. learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).
Kira-kira berapa pilar yang dibangun di negeri ini? Yang pasti, pilar terbesar adalah learning to know dan learning to learn. Salah satu petunjuk besar untuk membuktikan bahwa mata pelajaran yang diajarkan lebih bersifat pengetahuan adalah ”trend nyontek alias njiplak” yang nyaris menjadi budaya. Karena siswa tahu bahwa proses belajar hanyalah teori sehingga bisa dijiplak tanpa harus memahami. Dianalogikan sederhana, siswa sangat mahir menghapal dan menyontek gaya renang profesional walaupun mereka tidak pernah praktek olahraga renang. Teori renang bisa dicontek pada saat ujian di universitas olahraga, bisa dikarang jika tidak mengerti selengkapnya. Tapi satu hal yang pasti, manusia primitip pun bisa menjawab dengan benar bahwa untuk menjadi perenang profesional harus ”terjun ke air”. Maksudnya, tahap paling bijak setelah ”belajar mengetahui” adalah ”bisa melakukan”. Saya memahami bahwa ilmu pengetahuan harus menggugah dan membentuk pemahaman manusia menjadi karakter yang memudahkan proses kehidupannya. Ilmu pengetahuan bukan sekedar kumpulan kata yang membentuk kalimat yang tercantum di naskah buku pelajaran. Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari fakta, nilai empiris, menerangkan dan mendorong mewujudkan hal-hal yang belum terwujud. Ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang abstrak, tetapi bisa dirasakan. Inilah beberapa penekanan dalam pengajaran, sehingga apa yang dipelajari dapat dipahami fungsinya, nilai idealnya, tingkat kepentingannya, ruang penggunaannya.
Hal yang sangat ”menggelisahkan” saya adalah ketika para siswa harus memiliki nilai spektakuler pelajaran yang tidak ada hubungan langsung terhadap kejuruan yang dipilih. Siswa ”terpaksa” menghabiskan energinya berkutat di materi pelajaran tertentu yang notabenenya tidak menunjang program profesi yang dipilihnya. Mereka belajar keras bukan untuk memahami nilai dari pelajaran yang ditekuni, melainkan hanya ingin lulus ujian.
Parahnya lagi, para pengajar pun tidak semuanya menjelaskan manfaat apa bahan pengajarannya. Saya sering bertanya, sebesar apa manfaat mata pelajaran yang diajarkan terhadap profesi yang dipilih siswa. Jawaban paling trend, ”Ya ada sih, tapi ya bingung juga menjelaskannya. Memang pembelajarannya seperti itu ya ikuti saja.” Bahasa sederhananya, untuk apa kita ”berkutat” dalam sistem yang kita ketahui tidak mencerahkan dan tidak mencerdaskan.
Beberapa kali saya ikut seminar tentang peningkatan kualitas pengajaran, ternyata yang menarik bukan materinya, melainkan sertifikat atau piagam untuk menambah point akreditasi. Kalau sudah seperti ini, sulit membangun kepercayaan siswa terhadap pembelajaran. Karena aura pengajar sendiri menunjukkan ketidak yakinan dengan bahan ajarannya.
Contoh fakta :
Berdasarkan penelitian terhadap pendidikan enterpreneur yang dikembangkan di Indonesia, didapatkan fakta bahwa peserta yang berhasil dalam pembelajaran hanya mencapai angka 23%, sementara peserta yang berhasil menjadi entrepreneur atau wirausahawan hanya 3%. Di Akademi Pimpinan Perusahaan yang berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, jumlah lulusan yang menjadi pengusaha hanya mencapai angka 4%, sementara 96% sisanya menjadi karyawan. Analisis dari Tim Pakar The Grage Institute yang mendesain proses pembelajaran dalam kegiatan ini, menyimpulkan penyebab kegagalan karena Pendidikan kewirausahaan lebih berorientasi pada dua hal : Pengetahuan tentang bisnis dan Keterampilan pendukung dalam mengelola bisnis. Sehingga orang hanya mengetahui ilmu bisnis tetapi tidak berani menjalankan bisnis.
Dapat dibayangkan, jika ilmu terapan di lembaga pendidikan yang notabenenya difokuskan untuk menjadi wirausahawan saja tidak melahirkan nilai ideal yang signifikan, apalagi di lembaga lain.
Jika dihubungkan dengan motivasi belajar siswa di sekolah, saya menyatakan bahwa ”sangat wajar kalau siswa malas belajar”. Bukan berarti mendukung siswa yang enggan belajar, tapi saya memahami kegelisahan siswa. Pendidikan seakan rutinitas sekaligus identitas. Yang penting hadir setiap hari di sekolah, mengikuti ujian, tidak anarkis, sanggup membayar SPP, maka jaminan lulus sudah dikantongi. Institusi penanggung jawab pendidikan menganggap musibah jika banyak siswa yang tidak lulus di wilayahnya, tapi tidak menganggap masalah jika banyak siswa yang lulus tanpa memiliki kecakapan. Saya pernah ditunjukkan oleh rekan guru, ada siswa yang lulus SD sebelum siswa itu bisa membaca. Tahun 2008 dan 2012 pasca ujian sekolah dunia pendidikan dihebohkan dengan kecurangan sistematis pada saat UAN dan UNAS. Paket soal ujian pun dimodifikasi mulai dari 1 paket, 2 paket, 4 paket sampai 20 paket siap diberlakukan untuk menghilangkan budaya curang. Itu pun masih ditambah deklarasi ikrar kejujuran, pin pengawas jujur dan lain-lain. Apakah efektif? TIDAK... karena masalahnya terletak di "pola pikir yang penting lulus". Jadi semua berfikir dan bergerak mencari cara bagaimana "CARA LULUS" bukan bagaimana "CARA PANTAS LULUS".
Hasilnya, institusi pendidikan melihat biasa-biasa saja ribuan siswa yang lulus ujian tanpa mereka memahami sebab mereka diluluskan, bahkan tidak mengerti apa yang dilakukan pasca kelulusan. Termasuk para sarjana yang menurut data tahun 2011, angka penganggur berijazah sarjana 1,1 juta orang. Juga tidak tahu apa yang bisa dilakukan dengan titel dan ijazahnya. Yang mereka tahu hanya melamar pekerjaan, berdesak-desakan di bursa kerja walaupun mereka sendiri mengerti hal itu bukan pilihan yang menyenangkan.
Mungkinkah kita melihat masalah ini hanyalah kasuistis yang terjadi kebetulan? Tidak, karena kurikulum pendidikan terus diperbaharui atau disempurnakan. Artinya bahwa ibu pertiwi tidak pernah surut melahirkan putera-puteri bangsa yang mampu mengikuti proses pendidikan dengan baik. Maka, jika hasilnya meningkatkan jumlah anak bangsa yang ”linglung” setelah melewati proses pendidikan belasan tahun, berarti dibutuhkan ”reformulasi akbar” pola pengajaran dan meninjau kembali efektivitasnya yang diterapkan selama ini. Jelas hal ini bukan pekerjaan sederhana karena menyangkut pola pikir yang sudah membudaya. Namun pasrah juga bukan solusi dalam mengubah wajah generasi.
Beberapa Titik Evaluasi
Pertama, jumlah mata pelajaran perlu ditinjau lagi. Menurut saya mata pelajaran yang wajib dikuasai sepertinya sangat banyak, terutama di tingkat SLTA. Karena di tingkat SLTA siswa sudah harus memiliki target profesi. Ahli pendidikan, Montessory, Gormly dan Brodzisky menyatakan pada usia 12 – 18 tahun, dan Charles Buhler menyatakan pada usia 13 – 19 tahun – seseorang mengalami proses ”PENEMUAN DIRI” yang berikutnya menjadi TAHAP PENTING untuk mengasah bakat, kecerdasan dan potensi yang dimiliki untuk menentukan pekerjaan/profesinya. Para siswa tidak bisa fokus jika pelajaran yang dibebankan kepada mereka terlalu banyak, padahal tidak semuanya efektif menunjang karakteristik profesi mereka. Menurut informasi, di Finlandia yang kita kenal sebagai negara yang paling sukses dalam pendidikan, ternyata jumlah mata pelajarannya lebih sedikit.
Kedua, pentingnya metode belajar yang memungkinkan siswa dapat memahami manfaat riil dari sebab pengajaran setiap materi yang diberikan, serta dapat diterapkan sesuai dengan bidang kejuruan yang ditargetkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong minat belajar siswa, karena prinsip dasar manusia adalah ”selalu ingin mengetahui” dan akan memetik manfaat jika ”tidak sekedar mengetahui”. Melihat satu manfaat riil tentu lebih pasti menarik minat daripada seribu iklan yang tidak menjelaskan manfaat. Siswa termotivasi belajar jika mereka meyakini manfaat besar dari sebab mereka belajar, nyata dan tidak dikamuflase.
Ketiga : Mengurangi pelajaran yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas praktis. Saya meyakini bahwa semakin ke depan, pelajaran yang hanya berbasis pengetahuan semakin ”tidak penting” dipelajari di sekolah. Karena jika sekedar minat untuk mengetahui, orang lebih memilih media informasi berbasis teknologi seperti internet. Saya tidak yakin bahwa sekian tahun kedepan orang masih tertarik belajar tentang tata surya, proses gerhana, perubahan iklim dan semacamnya di sekolah. Karena informasi terlengkap dan ter-update ada di media teknologi komunikasi, berkembang drastis tanpa menunggu pembaharuan kurikulum oleh institusi pendidikan nasional. Kasihan penyusun kurikulum akan ”berbalapan ria” dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat mengungkap hal-hal baru menjadi pengetahuan baru. Dan yang lebih penting lagi, seberapa pun besarnya pengetahuan tentang ilmu tersebut, toh pada akhirnya harus menyiapkan lamaran kerja juga untuk diajukan ke berbagai sektor industri dan jasa.
Keempat, Ujian Nasional dengan standar kelulusan yang bertumpu pada mata pelajaran tertentu harus dievaluasi besar-besaran asas manfaatnya. Menurut saya, ujian nasional tersebut telah merusak atau minimal membuat pincang pilar pendidikan. Anak bangsa sibuk belajar menyelesaikan soal pilihan ganda, lembaga bimbingan belajar beriklan mengajarkan cara smart menjawab soal pelajaran ini dan itu. SEKOLAH SEAKAN MENJADI SARANA MERAMPUNGKAN JAWABAN TEKA-TEKI SILANG. Saya sepakat dengan pendapat Sosiolog dari UI, Dr. Imam Prasodjo, bahwa Ujian Nasional jangan dijadikan standar kelulusan. Karena berakibat mengebiri dan merampas kecerdasan anak bangsa. Tidak ada kata yang paling tepat selain, ”HENTIKAN”. Ganti dengan metode lain yang lebih mencerdaskan anak bangsa. Bisa saja untuk menguji kualitas sistem pendidikan, tapi bukan untuk mengeksekusi lulus tidaknya siswa. Darimana rasionya, membandingkan siswa di kelas full AC ditunjang fasilitas multimedia dengan siswa di ujung timur Indonesia, ruang belajar di kandang ayam, jadwal belajar disesuaikan dengan cuaca dan kondisi sosial--tapi dituntut memiliki standar nilai yang sama. Tentu ini sistem pendidikan yang zolim.
Kelima, Hilangkan diskriminasi pendidikan di sekolah negeri seperti pelabelan "RSBI", ”sekolah unggulan” dan hanya menerima siswa yang berprestasi standar. Cukup sekolah swasta yang berhak memilah siswa, karena memang dibangun secara mandiri. Sekolah negeri difasilitasi oleh negara, memakai uang rakyat. Maka sangat tidak pantas memilah-pilah anak didik yang notabenenya rakyat juga. Kapan wajah anak bangsa berubah jika hanya memanjakan sebagian dan menganak-tirikan yang lain. Kapan siswa dari ”kelas bawah” bisa termotivasi dan memiliki impian besar jika setiap hari hanya berkumpul dengan teman-teman yang keadaannya sama. Jika ada sekolah unggulan, tentu yang lain adalah sekolah tidak unggul yang menjadi tempat penampungan siswa yang termarginalkan. Tahukah anda apa yang terjadi jika anak didik yang termarginal tersebut berkumpul? Tahukah anda bagaimana beban guru yang mengajar di sekolah tersebut? Saya yakin, nurani kita sama seperti yang telah diamanahkan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Keenam, Mendorong terciptanya budaya yang menyehatkan pendidikan di berbagai bidang. Terutama membatasi liberalisasi media massa audio visual seperti televisi yang jika dicermati sangat jauh dari nilai edukasi. Tidak cukup hanya mengandalkan TV pendidikan, TV anak sebagai pilihan cerdas. Karena pada saat yang sama puluhan channel menyiarkan program yang menyesatkan dan kebetulan diminati siswa siswi. Kita tidak akan pernah bisa cerdas jika belajar pada sinetron, infotainment, hura-hura musik, film mistis, sulap dan tayangan sampah lainnya. Tapi sebagai rakyat juga tidak memiliki ”tangan besar untuk menonjok” kapitalis dan liberalis pemilik media massa. Hanya pemegang kebijakan yang bisa mengatur. Saya dan jutaan orang yang ingin melihat anak bangsa lebih beradab, yakin bahwa pencerahan itu pasti ada jika kita mau. Liberalisme mungkin sebuah tantangan di era globalisasi, tapi juga berpotensi menciptakan kebiadaban dalam peradaban. ***
Mungkin kita semua masih ingat, bagaimana semangat belajar kita semasa TK dan SD. Semangat belajar membaca, menulis, berhitung, menghapal dan bernyanyi. Kita bersemangat karena memang setiap hari menemukan pengetahuan baru dan pencapaian baru. Ketika di SLTP dan di SLTA kita mendapatkan pelajaran baru juga, namun di sini makin sadar bahwa tidak semua pelajaran bisa dipahami ”untuk apa dipelajari”, terlebih lagi dipraktekkan. Semakin tidak dipahami ”untuk apa” tersebut, semakin sulit menerima, semakin tidak tertarik mempelajarinya. Tentu hal ini problem yang perlu dicermati. Padahal, siswa tetap berkewajiban ”melahap” sekian mata pelajaran itu. Bagaimana pula hubungan pelajaran tersebut dengan target karier profesional mereka sekian tahun ke depan.
Pada akhirnya terbentuk paradigma tentang belajar, yaitu belajar adalah proses formal untuk melegitimasi pencapaian profesi tertentu. Atau belajar adalah proses untuk mengetahui, terlepas dari ”dapat diterapkan atau tidak”. Belajar seakan menjadi kegiatan tranformasi konsep dari guru ke siswa, kemudian siswa menjadi guru dan mengajarkannya lagi kepada siswa, dari generasi ke generasi. Kecerdasan seseorang seakan dilihat dari kemampuan menghapal pasal dan ayat, susunan kata dalam kalimat yang dikemukakan oleh pakar dibidangnya. Wajar jika kemudian semakin tinggi strata pendidikan seseorang, semakin berpotensi menjadi pengajar, pengamat sejati, penganalisis. Hasil besar dari pengajaran adalah pengajaran itu sendiri. Hanya sedikit yang ”menjadikan sesuatu” atau ”mewujudkan sesuatu”. Malah ada anekdot yang cukup ”melecehkan” bahwa orang Indonesia bisa mendarat di bulan tanpa menggunakan roket. Caranya cukup sederhana, yaitu mendaki tumpukan makalah dan sertifikat seminar.
Sebagai pembanding coba kita lihat lima pilar pendidikan :
1. learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan)
2. learning to learn (belajar untuk tahu cara belajar).
3. learning to do (belajar untuk dapat melakukan pekerjaan)
4. learning to be (belajar agar dapat menjadi orang yang berguna sesuai dengan minat, bakat dan potensi diri).
5. learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).
Kira-kira berapa pilar yang dibangun di negeri ini? Yang pasti, pilar terbesar adalah learning to know dan learning to learn. Salah satu petunjuk besar untuk membuktikan bahwa mata pelajaran yang diajarkan lebih bersifat pengetahuan adalah ”trend nyontek alias njiplak” yang nyaris menjadi budaya. Karena siswa tahu bahwa proses belajar hanyalah teori sehingga bisa dijiplak tanpa harus memahami. Dianalogikan sederhana, siswa sangat mahir menghapal dan menyontek gaya renang profesional walaupun mereka tidak pernah praktek olahraga renang. Teori renang bisa dicontek pada saat ujian di universitas olahraga, bisa dikarang jika tidak mengerti selengkapnya. Tapi satu hal yang pasti, manusia primitip pun bisa menjawab dengan benar bahwa untuk menjadi perenang profesional harus ”terjun ke air”. Maksudnya, tahap paling bijak setelah ”belajar mengetahui” adalah ”bisa melakukan”. Saya memahami bahwa ilmu pengetahuan harus menggugah dan membentuk pemahaman manusia menjadi karakter yang memudahkan proses kehidupannya. Ilmu pengetahuan bukan sekedar kumpulan kata yang membentuk kalimat yang tercantum di naskah buku pelajaran. Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari fakta, nilai empiris, menerangkan dan mendorong mewujudkan hal-hal yang belum terwujud. Ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang abstrak, tetapi bisa dirasakan. Inilah beberapa penekanan dalam pengajaran, sehingga apa yang dipelajari dapat dipahami fungsinya, nilai idealnya, tingkat kepentingannya, ruang penggunaannya.
Hal yang sangat ”menggelisahkan” saya adalah ketika para siswa harus memiliki nilai spektakuler pelajaran yang tidak ada hubungan langsung terhadap kejuruan yang dipilih. Siswa ”terpaksa” menghabiskan energinya berkutat di materi pelajaran tertentu yang notabenenya tidak menunjang program profesi yang dipilihnya. Mereka belajar keras bukan untuk memahami nilai dari pelajaran yang ditekuni, melainkan hanya ingin lulus ujian.
Parahnya lagi, para pengajar pun tidak semuanya menjelaskan manfaat apa bahan pengajarannya. Saya sering bertanya, sebesar apa manfaat mata pelajaran yang diajarkan terhadap profesi yang dipilih siswa. Jawaban paling trend, ”Ya ada sih, tapi ya bingung juga menjelaskannya. Memang pembelajarannya seperti itu ya ikuti saja.” Bahasa sederhananya, untuk apa kita ”berkutat” dalam sistem yang kita ketahui tidak mencerahkan dan tidak mencerdaskan.
Beberapa kali saya ikut seminar tentang peningkatan kualitas pengajaran, ternyata yang menarik bukan materinya, melainkan sertifikat atau piagam untuk menambah point akreditasi. Kalau sudah seperti ini, sulit membangun kepercayaan siswa terhadap pembelajaran. Karena aura pengajar sendiri menunjukkan ketidak yakinan dengan bahan ajarannya.
Contoh fakta :
Berdasarkan penelitian terhadap pendidikan enterpreneur yang dikembangkan di Indonesia, didapatkan fakta bahwa peserta yang berhasil dalam pembelajaran hanya mencapai angka 23%, sementara peserta yang berhasil menjadi entrepreneur atau wirausahawan hanya 3%. Di Akademi Pimpinan Perusahaan yang berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, jumlah lulusan yang menjadi pengusaha hanya mencapai angka 4%, sementara 96% sisanya menjadi karyawan. Analisis dari Tim Pakar The Grage Institute yang mendesain proses pembelajaran dalam kegiatan ini, menyimpulkan penyebab kegagalan karena Pendidikan kewirausahaan lebih berorientasi pada dua hal : Pengetahuan tentang bisnis dan Keterampilan pendukung dalam mengelola bisnis. Sehingga orang hanya mengetahui ilmu bisnis tetapi tidak berani menjalankan bisnis.
Dapat dibayangkan, jika ilmu terapan di lembaga pendidikan yang notabenenya difokuskan untuk menjadi wirausahawan saja tidak melahirkan nilai ideal yang signifikan, apalagi di lembaga lain.
Jika dihubungkan dengan motivasi belajar siswa di sekolah, saya menyatakan bahwa ”sangat wajar kalau siswa malas belajar”. Bukan berarti mendukung siswa yang enggan belajar, tapi saya memahami kegelisahan siswa. Pendidikan seakan rutinitas sekaligus identitas. Yang penting hadir setiap hari di sekolah, mengikuti ujian, tidak anarkis, sanggup membayar SPP, maka jaminan lulus sudah dikantongi. Institusi penanggung jawab pendidikan menganggap musibah jika banyak siswa yang tidak lulus di wilayahnya, tapi tidak menganggap masalah jika banyak siswa yang lulus tanpa memiliki kecakapan. Saya pernah ditunjukkan oleh rekan guru, ada siswa yang lulus SD sebelum siswa itu bisa membaca. Tahun 2008 dan 2012 pasca ujian sekolah dunia pendidikan dihebohkan dengan kecurangan sistematis pada saat UAN dan UNAS. Paket soal ujian pun dimodifikasi mulai dari 1 paket, 2 paket, 4 paket sampai 20 paket siap diberlakukan untuk menghilangkan budaya curang. Itu pun masih ditambah deklarasi ikrar kejujuran, pin pengawas jujur dan lain-lain. Apakah efektif? TIDAK... karena masalahnya terletak di "pola pikir yang penting lulus". Jadi semua berfikir dan bergerak mencari cara bagaimana "CARA LULUS" bukan bagaimana "CARA PANTAS LULUS".
Hasilnya, institusi pendidikan melihat biasa-biasa saja ribuan siswa yang lulus ujian tanpa mereka memahami sebab mereka diluluskan, bahkan tidak mengerti apa yang dilakukan pasca kelulusan. Termasuk para sarjana yang menurut data tahun 2011, angka penganggur berijazah sarjana 1,1 juta orang. Juga tidak tahu apa yang bisa dilakukan dengan titel dan ijazahnya. Yang mereka tahu hanya melamar pekerjaan, berdesak-desakan di bursa kerja walaupun mereka sendiri mengerti hal itu bukan pilihan yang menyenangkan.
Mungkinkah kita melihat masalah ini hanyalah kasuistis yang terjadi kebetulan? Tidak, karena kurikulum pendidikan terus diperbaharui atau disempurnakan. Artinya bahwa ibu pertiwi tidak pernah surut melahirkan putera-puteri bangsa yang mampu mengikuti proses pendidikan dengan baik. Maka, jika hasilnya meningkatkan jumlah anak bangsa yang ”linglung” setelah melewati proses pendidikan belasan tahun, berarti dibutuhkan ”reformulasi akbar” pola pengajaran dan meninjau kembali efektivitasnya yang diterapkan selama ini. Jelas hal ini bukan pekerjaan sederhana karena menyangkut pola pikir yang sudah membudaya. Namun pasrah juga bukan solusi dalam mengubah wajah generasi.
Beberapa Titik Evaluasi
Pertama, jumlah mata pelajaran perlu ditinjau lagi. Menurut saya mata pelajaran yang wajib dikuasai sepertinya sangat banyak, terutama di tingkat SLTA. Karena di tingkat SLTA siswa sudah harus memiliki target profesi. Ahli pendidikan, Montessory, Gormly dan Brodzisky menyatakan pada usia 12 – 18 tahun, dan Charles Buhler menyatakan pada usia 13 – 19 tahun – seseorang mengalami proses ”PENEMUAN DIRI” yang berikutnya menjadi TAHAP PENTING untuk mengasah bakat, kecerdasan dan potensi yang dimiliki untuk menentukan pekerjaan/profesinya. Para siswa tidak bisa fokus jika pelajaran yang dibebankan kepada mereka terlalu banyak, padahal tidak semuanya efektif menunjang karakteristik profesi mereka. Menurut informasi, di Finlandia yang kita kenal sebagai negara yang paling sukses dalam pendidikan, ternyata jumlah mata pelajarannya lebih sedikit.
Kedua, pentingnya metode belajar yang memungkinkan siswa dapat memahami manfaat riil dari sebab pengajaran setiap materi yang diberikan, serta dapat diterapkan sesuai dengan bidang kejuruan yang ditargetkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong minat belajar siswa, karena prinsip dasar manusia adalah ”selalu ingin mengetahui” dan akan memetik manfaat jika ”tidak sekedar mengetahui”. Melihat satu manfaat riil tentu lebih pasti menarik minat daripada seribu iklan yang tidak menjelaskan manfaat. Siswa termotivasi belajar jika mereka meyakini manfaat besar dari sebab mereka belajar, nyata dan tidak dikamuflase.
Ketiga : Mengurangi pelajaran yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas praktis. Saya meyakini bahwa semakin ke depan, pelajaran yang hanya berbasis pengetahuan semakin ”tidak penting” dipelajari di sekolah. Karena jika sekedar minat untuk mengetahui, orang lebih memilih media informasi berbasis teknologi seperti internet. Saya tidak yakin bahwa sekian tahun kedepan orang masih tertarik belajar tentang tata surya, proses gerhana, perubahan iklim dan semacamnya di sekolah. Karena informasi terlengkap dan ter-update ada di media teknologi komunikasi, berkembang drastis tanpa menunggu pembaharuan kurikulum oleh institusi pendidikan nasional. Kasihan penyusun kurikulum akan ”berbalapan ria” dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat mengungkap hal-hal baru menjadi pengetahuan baru. Dan yang lebih penting lagi, seberapa pun besarnya pengetahuan tentang ilmu tersebut, toh pada akhirnya harus menyiapkan lamaran kerja juga untuk diajukan ke berbagai sektor industri dan jasa.
Keempat, Ujian Nasional dengan standar kelulusan yang bertumpu pada mata pelajaran tertentu harus dievaluasi besar-besaran asas manfaatnya. Menurut saya, ujian nasional tersebut telah merusak atau minimal membuat pincang pilar pendidikan. Anak bangsa sibuk belajar menyelesaikan soal pilihan ganda, lembaga bimbingan belajar beriklan mengajarkan cara smart menjawab soal pelajaran ini dan itu. SEKOLAH SEAKAN MENJADI SARANA MERAMPUNGKAN JAWABAN TEKA-TEKI SILANG. Saya sepakat dengan pendapat Sosiolog dari UI, Dr. Imam Prasodjo, bahwa Ujian Nasional jangan dijadikan standar kelulusan. Karena berakibat mengebiri dan merampas kecerdasan anak bangsa. Tidak ada kata yang paling tepat selain, ”HENTIKAN”. Ganti dengan metode lain yang lebih mencerdaskan anak bangsa. Bisa saja untuk menguji kualitas sistem pendidikan, tapi bukan untuk mengeksekusi lulus tidaknya siswa. Darimana rasionya, membandingkan siswa di kelas full AC ditunjang fasilitas multimedia dengan siswa di ujung timur Indonesia, ruang belajar di kandang ayam, jadwal belajar disesuaikan dengan cuaca dan kondisi sosial--tapi dituntut memiliki standar nilai yang sama. Tentu ini sistem pendidikan yang zolim.
Kelima, Hilangkan diskriminasi pendidikan di sekolah negeri seperti pelabelan "RSBI", ”sekolah unggulan” dan hanya menerima siswa yang berprestasi standar. Cukup sekolah swasta yang berhak memilah siswa, karena memang dibangun secara mandiri. Sekolah negeri difasilitasi oleh negara, memakai uang rakyat. Maka sangat tidak pantas memilah-pilah anak didik yang notabenenya rakyat juga. Kapan wajah anak bangsa berubah jika hanya memanjakan sebagian dan menganak-tirikan yang lain. Kapan siswa dari ”kelas bawah” bisa termotivasi dan memiliki impian besar jika setiap hari hanya berkumpul dengan teman-teman yang keadaannya sama. Jika ada sekolah unggulan, tentu yang lain adalah sekolah tidak unggul yang menjadi tempat penampungan siswa yang termarginalkan. Tahukah anda apa yang terjadi jika anak didik yang termarginal tersebut berkumpul? Tahukah anda bagaimana beban guru yang mengajar di sekolah tersebut? Saya yakin, nurani kita sama seperti yang telah diamanahkan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Keenam, Mendorong terciptanya budaya yang menyehatkan pendidikan di berbagai bidang. Terutama membatasi liberalisasi media massa audio visual seperti televisi yang jika dicermati sangat jauh dari nilai edukasi. Tidak cukup hanya mengandalkan TV pendidikan, TV anak sebagai pilihan cerdas. Karena pada saat yang sama puluhan channel menyiarkan program yang menyesatkan dan kebetulan diminati siswa siswi. Kita tidak akan pernah bisa cerdas jika belajar pada sinetron, infotainment, hura-hura musik, film mistis, sulap dan tayangan sampah lainnya. Tapi sebagai rakyat juga tidak memiliki ”tangan besar untuk menonjok” kapitalis dan liberalis pemilik media massa. Hanya pemegang kebijakan yang bisa mengatur. Saya dan jutaan orang yang ingin melihat anak bangsa lebih beradab, yakin bahwa pencerahan itu pasti ada jika kita mau. Liberalisme mungkin sebuah tantangan di era globalisasi, tapi juga berpotensi menciptakan kebiadaban dalam peradaban. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar